Peristiwa
ini terjadi pada tanggal 19 Oktober 1987. Saat itu, KA 225 Jurusan
Rangkasbitung – Jakarta yang dipimpin oleh masinis Slamet Suradio,
asistennya Soleh, dan seorang kondektur, Syafei berhenti di jalur 3
Stasiun Sudimara. Kereta yang ditarik oleh lokomotif BB30317 dalam
keadaaan sarat penumpang, yaitu sekitar 700 penumpang didalamnya. KA 225
tersebut bersilang dengan KA 220 Patas jurusan Tanah Abang – Merak yg
dipimpin oleh masinis Amung Sunarya dgn asistennya Mujiono. Kereta yg
ditarik oleh lokomotif BB30617 ini bermuatan kurang lebih 500 penumpang,
dan berada di jalur 2 Stasiun Kebayoran Lama.
Di Stasiun Sudimara sendiri, terdapat 3 jalur yang saat itu sedang penuh
dengan KA. Mengetahui hal tersebut, Djamhari selaku kepala PPKA (
Pengatur Perjalanan Kereta Api ) Stasiun Sudimara menghubungi Stasiun
Kebayoran Lama untuk melakukan persilangan jalur di Stasiun Kebayoran
Lama, namun Kepala PPKA Stasiun Kebayoran Lama, Umriyadi / Umrihadi
menolaknya dan tetap meminta persilangan dilakukan di Stasiun Sudimara.
Mau tak mau, Djamhari kemudian mengosongkan jalur 2 untuk menampung KA
220 Patas yang telah berangkat dari Stasiun Kebayoran Lama setelah
mendapat izin dari Kepala PPKA dengan memindahkan KA 225 ke jalur 1.
Djambhari kemudian memerintahkan Juru Langsir untuk memberi tahu masinis
jika KA 225 hendak dipindah ke jalur 1. Juru Langsir kemudian memberi
peringatan kepada masinis dan penumpang dengan mengibaskan Bendera Merah
dan meniup peluit Semboyan 46 ( tanda kepada masinis dan penumpang jika
kereta akan dilangsir )tanpa membatalkan perintah persilangan yang
terlanjur diberikan kepada masinis KA 225.
Masinis KA 225 mendengar bunyi peluit Juru Langsir, namun ia tidak dapat
memastikan apakah itu bunyi semboyan 46 atau semboyan 40 ( tanda ketika
petugas peron memberi sinyal hijau kepada kondektur KA, artinya jalur
telah aman untuk dilalui ). Karena kondisi kereta yang penuh sesak,
masinis pun menanyakan kepada penumpang yang berdiri di luar lokomotif,
dan orang tersebut menjawab jika sudah waktunya kereta berangkat tanpa
memastikan kembali. Maka semboyan 41 ( tanda yang dibunyikan oleh
kondektur sebagai respon atas dimengertinya semboyan 40 ), disusul
kemudian dibunyikannya semboyan 35 ( masinis membuyikan klakson sebagai
tanda kereta akan berangkat ). Sang Masinis tidak tahu jika semboyan 40
belum diberikan olah Kepala PPKA, dan ia memberangkatkan kereta hanya
karena jawaban seseorang yang mengatakan jika kereta telah siap untuk
berangkat.
Pada pukul 07.00 WIB, KA 225 berangkat tanpa ijin dari Kepala PPKA. Para
petugas di Stasiun Sudimara dan Kepala PPKA langsung panik saat
mengetahui KA 225 telah berangkat tanpa ijin, apalagi setelah Djamhari
dihubungi oleh Kepala PPKA Stasiun Kebayoran Lama jika KA 220 Patas juga
telah berangkat menuju Sudimara. Juru Langsir kemudian langsung
mengejar KA 225 dan berhasil naik gerbong paling belakang,namun
sayangnya ia tidak dapat memberi tahu sang masinis, beberapa petugas
lain mengejar dengan motor. Djamhari pun mengibaskan Bendera Merah dan
menaikturunkan Sinyal Palang KA sebagai peringatan kepada Masinis KA
225, namun anehnya tidak satupun yang terlihat oleh sang Masinis.
Di saat yang genting tersebut, Djamhari kemudian berlari mengejar KA 225
dan berteriak ” Tolong…Pasti Tabrakan…Tolong…Pasti Tabrakan!!! “, namun
karena kereta telah berjalan lebih dari 50 km/h maka Djamhari sudah
tidak dapat mengejarnya lagi. Kemudian, Djamhari kembali ke Stasiun
Sudimara dan menghubungi Stasiun Kebayoran Lama agar KA 220 Patas segera
dihentikan di Palang Pintu Pondokbetung.
Sang PPKA kemudian mencoba usaha terakhirnya untuk mencegah terjadinya
tabrakan dengan membuyikan Semboyan Bahaya ke Bel Genta perlintasan.
Namun bencana seperti sudah ditakdirkan, petugas Palang Pintu
Pondokbetung tidak hafal semboyan bahaya tersebut dan menganggapnya
sebagai percobaan saja. Sudah dapat ditebak, akibatnya sangat fatal
karena KA 220 Patas melaju lurus dengan kecepatan cukup tinggi melewati
Palang Pintu Pondokbetung.
Akhirnya, KA 225 yang telah meninggalkan Stasiun Sudimara sejauh 8 km
dan berjalan dengan kecepatan kurang lebih 45 km/h bertemu dengan KA 220
Patas yang berjalan dengan kecepatan 25 km/h di Lengkungan S ( dekat
tikungan melengkung Bintaro ). Kedua masinis kereta yang sama – sama
sarat penumpang tersebut tak ayal kaget bukan kepalang ketika dua kereta
tersebut saling bertemu. Masinis Slamet Suradio berusaha mengerem KA,
namun dengan muatan penuh seperti itu, kereta membutuhkan jarak sekitar
500 meter untuk berhenti.
Pada pukul 07.10 WIB, suara benturan yang sangat keras terdengar ketika
kedua kereta api saling bertabrakan. Karena muatan yang penuh dan massa
kedua lokomotif yang besar, mengakibatkan kedua lokomotif seakan – akan
tertelan gerbong, kemudian terguling. Masinis dan asisten KA 220 Patas
selamat dengan luka ringan karena berjongkok di lantai lokomotif,
sedangkan Masinis KA 225 dan asistennya terluka parah. Begitu
mengerikannya tabrakan yang terjadi hingga para penumpang yg menjadi
korban sulit untuk diidentifikasi lagi karena rusak. Hasil dari
penyelidikan mengatakan jika korban paling banyak berasal dari gerbong
terdepan dimana gerbong tersebut menabrak lokomotif hingga lokomotif
menjepit gerbong. Beberapa saat kemudian, korban yg tewas seketika
diperkirakan 72 orang ( ada yang mengatakan 156, 153, 116 orang ), 200
orang tewas setelah sekarat, dan 300 lebih luka – luka.
Tragedi Bintaro merupakan kecelakaan kereta api terbesar yang pernah
terjadi Indonesia, celakanya lagi peristiwa itu terjadi akibat dari
kelalaian manusia. Masinis yg tidak memastikan bunyi semboyan dengan
benar, Kepala PPKA yang kurang berkomunikasi, hingga yang paling fatal,
petugas Palang pintu yang tidak hafal semboyan Bel Genta adalah sebagian
dari kunci utama penyebab tragedi berdarah ini terjadi. Masinis Slamet
Suradio diganjar hukuman 5 tahun kurungan atas kelalaiannya, begitu juga
dengan kondektur KA 225 yang harus mendekam di penjara selama 2 tahun 6
bulan, dan Kepala PPKA Stasiun Kebayoran Lama Umriyadi yang dipenjara
selama 10 tahun.
Tragedi berdarah ini masih menyisakan duka yang sangat dalam bagi
keluarga korban, bahkan telah beredar kabar bahwa lokasi kecelakaan
kedua KA tersebut menjadi angker dan dikenal oleh masyarakat sebagai
salah satu tempat terangker di Jakarta, setidaknya begitulah kisahnya.
Walaupun tragedi Bintaro merupakan musibah yang diakibatkan oleh
kelalaian manusia, namun semua itu tinggal menjadi kenangan dan masa
lalu yang kelam bagi Indonesia. Selalu ada hikmah yang bisa dipetik dari
peristiwa ini dan pastinya akan menjadi pelajaran yang sangat berharga
dalam industri perkeretaapian Indonesia agar lebih baik lagi.
nih TKP dan GAMBARNYA :
serem ya gan..
ya mungkin bisa menjadi kenangan pahit agar selalu berwaspada dan kembali kepada jalan yang benar karena ini semua bukan karena manusianya saja yang salah..tapi karena takdir Tuhan yang menentukan agar kita yang masih hidup bisa kembali berserah diri kepadaNya.
Sumber : Kaskus