Tak satupun orang yang berbeda pendapat tentang hak rakyat Palestina
untuk membangun dan merayakan kemerdekaan negaranya yang layak dengan
pengorbanan dan kontribusinya selama ini. Membentuk zaman baru yang
mencerminkan bangsa Palestina bebas dan merdeka, setelah beberapa dekade
mengalami penderitaan yang panjang.
Mewujudkan negara Palestina yang merdeka adalah cita-cita setiap orang
Palestina, walaupun sangat ditentang oleh penjajah durjana. Atau oleh
antek-antek penjajah. Sehingga Anda tidak bisa melihat seorang Palestina
bisa mencintai tanah airnya dan merasakan indahnya revolusi. Orang yang
selalu menentang setiap upaya bagi kemajuan negeri dan proses penguatan
jati diri bangsa Palestina yang sejati.
Akan tetapi tema tentang negara seharusnya tidak semestinya diekspos
seadanya, jauh dari konten dan nilai-nilai luhur. Karena masih banyak
tafsiran tentang karakter negara yang akan mendapatkan legalitas dari
lembaga-lembaga dunia. Dari soal efektivitas kekuasaan yang dimilikinya
di lapangan nanti, soal berbagai batasan dan komitmen yang harus
dijalankannya, hingga soal karakter hubungannya dengan Zionis Israel dan
sejumlah tafsiran lainnya yang muncul tentang orientasi negara yang
akan dibentuk nanti. Untuk menentukan apakah negara ini memiliki
beberapa penopang utama sebagai penyangga atau hanya sekedar negara
boneka, tak lain tak bukan.
Dari sejumlah pengalaman interaksi sebelumnya yang penulis alami
dengan pihak Zionis Israel dan pemeritah Amerika serta Uni Eropa (UE)
berikutnya. Mereka yang biasanya mengontrol langsung pada mekanisme
pembuatan kebijakan negara, khususnya tentang isu Palestina.
Pengalaman-pengalaman itu menunjukkan betapa besarnya kesulitan dan
rintangan yang dihadapi oleh pihak Otoritas Palestina (OP), hingga
sekarang ini. Sehingga menjadikannya sebagai eksistensi lemah tak
berdaya, tak bisa memutuskan kebijakan apapun dan selalu dalam
bayang-bayang tekanan, bahkan pengaruh, dari pihak luar.
Catatan dan Masukan
Atas rencana Mahmud Abbas dan OP yang ingin berangkat ke Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) dan mengumumkan akan berdirinya negara Palestina
merdeka, penulis ingin menjelaskan sejumlah catatan dibawah ini:
Pertama: keberangkatan ke PBB untuk mendapatkan keanggotaan penuh
bagi negara Palestina dengan batas tahun 1967 akan memberikan legitimasi
kepada Zionis Israel untuk menjajah wilayah-wilayah Palestina lainnya.
Jika kita perhatikan dengan seksama upaya perundingan yang digagas
oleh pihak Palestina untuk mendapatkan pengakuan negara dengan batas
tahun 1967, yang itu hanya mewakili 22% saja dari luas wilayah Palestina
historis, sebagai sumber referensi bagi perundingan dengan tujuan
mendirikan negara di atas wilayah tersebut (22% itu). Maka penulis
melihat upaya untuk memperoleh apa yang disebut negara di PBB, dalam
bentuk apapun, secara otomatis akan menghilangkan sisanya lagi, 78% dari
luas Palestina, untuk kepentingan pihak Israel. Sekaligus, mengharamkan
bangsa Palestina untuk memintanya lagi di kancah dunia, sesuai dengan
hukum internasional yang berlaku.
Kedua: dilihat dari sisi hukum dan fakta, keberhasilan upaya resmi
Palestina dalam koridor lembaga-lembaga PBB, dengan sendirinya akan
membahayakan masa kini dan masa depan isu Palestina. Juga akan
membahayakan bagi masa depan pembebasan nasional rakyat Palestina dari
penjajahan Zionis Israel, dan memberikan hadiah gratis kepada Zionis
Israel yang tak terbayangkan sebelumnya. Selanjutnya, akan menyatakan
pengakuan terhadap Zionis Israel sebagai negara Yahudi dan melakukan
kompromi atas tanah Palestina tahun 1948.
Setelah Palestina mendapatkan julukan “negara” secara langsung
membebaskan Zionis Israel dari sekat-sekat yang membatasinya dan
komitmen yang harus dijalankan hingga kini. Terus, mendorongnya
berinteraksi dengan realita Palestina, dengan bentuknya yang baru,
sebagai negara tetangga. Dengan posisi seperti itu, isu Palestina tidak
bisa diuntungkan. Karena Israel akan terus menggunakan kebijakan dan
kebiasaan represifnya kepada Palestina. Namun yang berbeda, kali ini
Israel bertameng dengan keputusan internasional dalam menghadapi negara
lainnya, Palestina.
Dengan begitu, rakyat Palestina bersama pemerintahannya dalam posisi
terpasung, tak berdaya dalam mewujudkan pembebasan nasional Palestina,
hingga legalitasnya sirna di mata dunia internasional.
Ketiga: pilihan ke PBB untuk mendapatkan keanggotaan penuh sebagai
negara pada bulan September nanti, tidak melalui konsensus nasional
Palestina. Bahkan tak satupun faksi atau kelompok Palestina, diluar
Fatah, dimintai usulan ataupun masukan. Fatah sendiripun, tidak satu
suara dalam menentukan pilihan tersebut.
Lalu muncul sebuah pertanyaan, kenapa Mahmud Abbas tidak memilih
konsensus nasional dalam menentukan pilihan penting ini? Apa yang
menghalanginya untuk melakukan musyawarah berskala nasional?
Sangat disayangkan jika pilihan ini adalah pilihan pribadi Abu Mazen
(panggilan akrab Mahmud Abbas, red.) bersama timnya di OP. Apakah ini
ada kaitannya dengan ketidak-tajaman jurus-jurus Abu Mazen dalam
proses-proses perundingan dengan pihak Zionis Israel. Kemudian memilih
pilihan yang sangat berbahaya ini, sebagai kompensasinya?!
Oleh karena itu, pilihan September nanti akan menyelamatkan Abbas dari
krisis yang melilitnya di fase lalu. Mungkin ini rahasianya, walaupun
langkahnya ini akan dihadang oleh ancaman dari Israel dan tekanan
Amaerika. Sehingga, pada akhirnya, memaksanya memilih pilihan meja
perundingan untuk yang kesekian kalinya.
Keempat: pilihan ini kurang didasari dengan visi yang jelas dan
kajian yang sistematis. Karena tidak bisa dibenarkan isu-isu besar
Palestina digantungkan hanya pada ide atau pendapat seorang pemimpin
atau pejabat tertentu bersama orang-orang dekatnya. Jauh dari elemen
masyarakat lainnya, baik dari kalangan politik, ideologi dan kebudayaan.
Pilihan ke PBB untuk mendapatkan keanggotaan penuh sebagai negara
“merdeka” tidak didasari pada kajian nasional Palestina yang mendalam.
Juga tidak disampaikan atau dikaji secara sistematik oleh para penentu
kebijakan Palestina, dengan mempertimbangkan semua dampak dan efeknya.
Tanpa visi yang jelas, dan tanpa memperhatikan perkembangan situasi
terkini.
Barangkali penjelasan dari anggota Dewan Nasional Palestina, Soeb
Oraekat tentang pertarungan Palestina dan kesiapan Palestina di semua
level, sebagai pembuka tabir bagi pilihan September ini. Sebuah
pernyataan yang jauh dari fakta dan realita di lapangan.
Hingga kini, pimpinan OP, khususnya Abbas, belum menyepakati rumusan
teks yang nanti akan disampaikan di PBB bulan September meminta
keanggotaan negara Palestina. Mereka pun juga belum menentukan untuk
pergi kepada DK PBB terlebih dulu, sebelum ke Majelis Umum PBB. Atau
karena peluang sukses di DK PBB sangat kecil, karena akan menghadapi hak
veto Amerika, akhirnya mereka memilih jalan pintas ke Majelis Umum PBB.
OP berikut pejabat-pejabatnya tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya.
Keputusan pergi ke PBB hanya diputuskan oleh Abbas bersama orang-orang
terbatas saja, mereka yang dekat dengan Abu Mazen. Nampaknya, keputusan
itu hanya di tangan Abbas sendiri.
Kelima: pilihan (September) ini terlihat kamuflase dan formalitas
semata, jauh dari fakta dan realita di lapangan. Lalu apa artinya orang
Palestina mendapatakan “negara” namun hanya sebatas bangunan tanpa
pondasi, tanpa isi. Apalah artinya “negara” bila tak berdaulat atas
wilayah-wilayah kekuasaannya. Karena wilayah-wilayah tersebut
terkungkung dalam jeratan Zionis Israel.
Bagaimana mungkin disebut sebagai “negara” berdaulat jika Mahmud Abbas
sendiri tidak bisa bergerak dengan bebas, dari satu wilayah ke wilayah
lain, tanpa diizinkan terlebih dulu oleh pihak Zionis Israel. Sementara,
hanya hitungan detik, tank-tank dan peralatan perang Zionis Israel
dengan mudahnya menduduki wilayah Palestina tanpa ragu, tanpa peduli
dengan kedaulatan Palestina.
Keenam: pilihan (September) ini memandang sepele atas beberapa
prioritas kerja nasional Palestina dengan maksud ingin menggagalkannya,
khususnya rekonsiliasi nasional Palestina yang sudah disepakati pada
bulan Mei lalu.
Setiap orang Palestina meyakini bahwa rekonsiliasi ini perlu dijaga dan
menjadi prioritas kerja nasional sebelum memilih kerja-kerja lainnya.
Dengan tujuan agar bisa keluar dari krisis internal yang menyebabkan
rakyat Palestina hidup dalam ketidak-pastian. Kemudian bersatu padu
menghadapi kekejaman Israel, tidak terpecah belah.
Penutup
Dengan catatan-catatan di atas, nampaknya keinginan Mahmud Abbas untuk
pergi ke PBB pada bulan September nanti merupakan langkah yang tidak
jelas dan tidak memperhatikan dampak-dampaknya di masa mendatang.
Untuk itu, tak ada jalan lain kecuali menyatukan langkah untuk membuat
langkah-langkah strategis komprehensif yang disepakati oleh semua elemen
masyarakat Palestina. Langkah-langkah itu berisikan mekanisme detail
untuk bisa keluar dari krisis yang akan menghantam isu Palestina dan
bangsanya. Juga berisi tentang pandangan dan alternatif nasional yang
bisa berinteraksi dengan fase-fase mendatang, jauh dari agenda dan
intervensi pihak asing.
Sumber : http://knrp.or.id/kajian/negara-palestina-di-bulan-september-antara-mimpi-dan-realita.htm